Sebut saja namanya Venti. Perempuan biasa-biasa saja namun sangat mengga*rahkan. Masalah ranjang Venti tak perlu diragukan lagi, dia sangat b*nal sekali. Kadang jika kondisiku sedang tidak suit, Venti mengalahkanku hanya dalam beberapa ronde saja.
Namun Venti juga puas dengan pen*sku yang ukurannya sangat besar yaitu panjangnya 19cm dengan diameter 6cm. begitulah sekilas tentang hubungan S*x ku dengan Venti yang sangat berkesan dalam hidupku dan mungkin juga dalam hidup Venti. Venti sudah kupacari sejak kami kuliah bersama hingga akhirnya dia meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Bokep
Aku mencoba mencari tau tentang keberadaannya namun tak kunjung juga ketemu sampai akhirnya aku putuskan untuk menikah dengan seorang wanita yang dijodohkan oleh orang tuaku. Dalam pernikahanku aku dikaruniai 3 orang anak sampai sebelumnya Venti kembali datang dalam kehidupanku yang sekarang.
Malam itu aku sedang makan berdua dengan istriku karena anak-anak sudah tidur. Aku berusaha memanfaatkan waktu berdua dengan istriku ketika anak-anak sudah tidur. Namun ketika sedang enak-enaknya ngobrol sambil makan dengan istriku, tiba-tiba HP ku berbunyi.
Aku lihat gak ada namanya, kemudian aku berpura-pura mengambil minum berniat mengangkat telpon tadi.
Dan “Jika masih ingat sama aku datanglah di wisma kamar nomer 9 sekarang, aku tunggu” ucap seorang yang telpon.
“Ini siapa??” tanyaku.
“Pokoknya datang aja, nanti kamu akan tau sendiri” katanya. Lalu wanita itu menutup telponnya.
Setelah wanita yang menelponku tadi mematikan telponnya, aku kembali di meja makan bersama istriku, dan aku pun langsung minta izin untuk keluar karena ada pertemuan mend*d*k yang diminta oleh bosku. Setelah aku menyakinkan istriku, akhirnya istriku percaya dan mengijinkanku untuk pergi.
Namun aku dipesan untuk pulang, tapi aku kembali berpesan, jika harus menginap aku harus menginap dan kunci saja pintunya. Dan aku pun langsung beres-beres dan langsung meluncur ke wisma kamar no 7. Di perjalanan aku mengingat suara m*nis yang tadi telpon, aku sudah berpikiran kalau itu Venti, namun darimana dia mendapatkan nomer telponku dan mengetahui keberadaanku.
Aku bertanya-tanya karena aku dan Venti sudah gak ketemu hampir 10 tahun. Setelah aku tiba dan menanyakan kamar Venti di Wisma itu, aku lalu diantar oleh salah seorang pelayan laki-laki Wisma itu. Kamar Venti ternyata tidak tertutup menunggu kedatanganku.
“Hei, jam berapa kamu tiba di kota ini dan ada urusan apa sampai ngingap segala di Wisma ini. Nampaknya ada urusan penting yah? Kenapa tidak langsung ke rumah saja?” serentetan pertanyaan itu aku lontarkan pada Venti ketika aku sudah berdiri di depan pintu kamarnya.Ia nampak kebingunan menjawabnya satu persatu, sehingga ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku memanggilku masuk.
“Mari masuk Kak, aku sangat merindukanmu. Sudah lama kucari alamatmu dan ingin bertemu denganmu, tapi baru kali ini aku sempat. Maklum daerah tempat tinggalku terlalu jauh dari sini, sehingga sulit sekali kita saling bertemu” katanya sambil tersenyum seolah gembira sekali.
Aku langsung duduk di tepi rosban yang dilapisi kasur empuk, sementara sambil ia teruskan pembicaraannya, Venti berjalan ke arah pintu lalu menutup serta menguncinya dengan rapat seolah ia tidak membiarkan aku kembali dengan cepat atau mungkin ia inginkan aku menem*ninya terus dalam kamar itu sampai segala urusannya selesai.
“Tadinya aku ragu dan takut meneleponmu karena jangan sampai istrimu marah dan curiga, sehingga malah menghalangi pertemuan kita. Tapi tetap aku coba siapa tahu bisa berhasil, ternyata betul berhasil” katanya sambil duduk sekitar thirty cm dari tempat di mana aku duduk.
“Akupun tadi kaget dan merasa takut ketahuan istri ketika kuterima teleponmu. Untung aku masih bisa buat alasan yang bisa yakinkan dia” kataku menceritakan kegiatan kami di rumah saat ia menelpon tadi.
“Kamu betul-betul bersifat ular dan masih licik seperti dulu. Kukira kamu sudah insaf dan banyak berubah karena sudah beristri yang cantik, malah sudah punya three orang anak lagi. Ternyata sifatmu tidak banyak berubah, meskipun usiamu sudah lanjut. Apa jadinya kira-kira jika istrimu tahu soal pertemuan kita di wisma ini. Aku tidak mau nanggung resikonya dan tidak tega melihat rumah tanggamu hancur seperti yang kami alami saat ini” komentarnya panjang lebar sambil mencubit pinggangku lalu sedikit bersedih, bahkan sempat keluar air matanya.
“Maaf Venti, aku tidak dapat dan tidak mungkin melupakan peristiwa bersejarah kita yang penuh kenikmatan twenty tahun yang lalu itu. Sayang nasib yang memisahkan kita sehingga kita tidak berjodoh. Tapi sudahlah semua itu adalah takdir yang harus kita terima. Sekarang kita lupakan saja semua itu, kita memikirkan dan menikmati pertemuan kita ini”.
“Kak, aku sangat merindukanmu. Jauh-jauh aku datang dari Banjarmasin tempat aku berdomisili saat ini hanya untuk bertemu denganmu” katanya sambil merapatkan tubuhnya ke tubuhku, bahkan bersandar di bahuku.
“Aku juga demikian sayang. Makanya apapun resikonya, aku tetap berusaha menemuimu di tempat ini.
Aku sama sekali tidak bisa merasakan kebahagiaan dan kenikmatan yang sama ketika kita belajar bersama di rumahmu tempo hari” sambungku sambil memeluk tubuhnya, malah membelai rambutnya yang agak panjang dan terasa harum. Ia tidak hanya bersandar dibahuku, tapi kali ini ia berbaring di atas kedua p*haku, sehingga aku mengelus-elus pipi dan kelopak matanya yang terasa sedikit basah.
Entah karena sedih atau bahagia, tapi yang jelas air mata itu terasa hangat. Untuk membuktikan kasih sayang dan kerinduanku, aku mencoba meng*cup pipinya yang putih bersih itu, sehingga ia menarik kepalaku lebih rapat lagi seolah ia tidak ingin aku menarik kec*panku itu.
“Kak, aku telah mengetahui seluruh keadaanmu sekarang ini dari mamaku di kampung, termasuk no. teleponmu. Apa kamu tidak ingin atau tidak mau ketahui keadaanku saat ini Kak?” tanyanya tiba-tiba sambil mengangkat kepalanya dan menatap wajahku.
“Oh yah, sempat kudengar tadi dari ucapanmu bahwa kamu tidak ingin melihat rumah tanggaku hancur seperti rumah tanggamu. Kapan kamu berumah tangga dan apa memang kamu kurang harmonis?” tanyaku padanya.
“Itulah Kak nasib buruk yang menimpaku. Tak lama setelah kuketahui bahwa kamu telah beristri, akupun frustrasi dan bergaul dengan banyak lelaki. Hingga akhirnya seorang lelaki seusiamu melamarku lalu aku terima menjadi suamiku.
3 Bulan kemudian kuketahui bahwa ia ternyata sudah memiliki istri sebelumku, malah sudah punya seorang anak. Aku tinggalkan dia dan menuntut cerai, tapi ia tetap tidak mau ceraikan aku. Aku lalu ke Banjarmasin dan tinggal di rumah sepupuku.
Enam Bulan kemudian, tanpa bekal surat cerai aku menerima lamaran seorang pria yang usianya jauh lebih mudah di bawah usiaku” ulasannya panjang lebar. Aku sangat tertarik mendengar pengalamannya itu, sehingga belum aku sempat mengomentari penjelasannya itu, ia terus cerita pengalamannya.
“Sialnya Kak, belum cukup satu tahun perkawinan kami itu, pria yang jadi suamiku itu kawin lagi dengan wanita Banjar sesukunya karena dipaksa oleh keluarganya dan tidak direstui perkawinannya denganku. Aku sakit sekali dan ingin rasanya bunuh diri, tapi tiba-tiba aku teringat dengan kebahagiaan yang pernah kualami 10 tahun lalu bersama Kak, sehingga aku bertekat untuk menemui Kakak dengan harapan kalau-kalau kebahagaian dan kasih sayang itu masih bisa kunikmati kembali sebelum aku meninggalkan dunia yang fana ini. Itulah yang mendorongku ke sini Kak” ceritanya panjang lebar sambil meneteskan airmata di pangkuanku.
“Sabar sayang, jangan putus asa. Masih banyak kebahagiaan dan kenikmatan hidup yang bisa kita alami jika kita masih hidup. Semua itu adalah ujian yang tak bisa dihindari. Buktinya kan aku ini masih menyayangimu, mencintaimu, merindukanmu dan..” belum aku selesaikan ucapanku, ia tiba-tiba menutup mulutku dengan tangannya, lalu
“Jangan diteruskan Kak, aku takut menyakiti hati istrimu dan merusak kebahagiaan rumah tanggamu. Biarlah aku yang mengalami nasib buruk ini” katanya menyadarkanku kalau aku selama ini hidup rukun bersama istri.
“Kalau memang tujuanmu satu-satunya ke sini hanya untuk bertemu denganku, maka bersyukur dan berbahagialah sekarang karena kita sudah ketemu dan marilah kita saling melepaskan kerinduan kita mumpung masih sempat dan masih pagi” kataku sambil membelai tubuhnya dan mengangkat kedua kakinya yang terjulur ke bawah lalu membaringkannya di atas kasur yang empuk, kemudian aku berbaring di sampingnya sambil memeluk tubuhnya dalam satu bantal dengan tetap meneruskan pembicaraan kami.
Entah siapa yang memulai, tapi kini kami sudah saling merangkul dan berc*uman dan bermain l*dah, malah tanpa kusadari pula siapa yang lebih duluan, yang jelas tanganku sudah mempermainkan dua buah d*d* yang terselip di balik baju dan ** yang dikenakan Venti,
Sementara tangan Venti sudah mer*ba-r*ba dan mengg*c*k-ng*c*k sebuah rudah yang berdiri tegak di balik **ku, padahal kami sama-sama masih berpakaian lengkap. Tanpa terdengar suara sepata katapun, tangan kami sangat aktifnya mempermainkan alat v*tal yang dulunya pernah kami permainkan.
“Aku buka bajunya yah sayang, biar aku lebih leluasa menikmati seluruh tubuhmu yang pernah jadi pusat kenikmatanku” kataku berbisik sambil mempreteli baju dan celana panjang yang dikenakannya. Venti hanya mengangguk, namun tanpa minta izin ia juga ikut membuka kancing bajuku satu demi satu yang diteruskan dengan membuka ikat pinggang, resteling dan melorotkan celana panjangku.
Kini kami berpelukan dan berp*gutan dalam keadaan setengah b*gil sambil bergulingan. Kadang Venti berbaring di kiri dan di kananku, bahkan di atas dan di bawahku. Kami sudah sama-sama sangat terangs*ng sehingga tanpa aba-aba lagi, aku langsung melepas **-nya,
Sehingga nampak di depan mata saya dua benda putih tergantung yang tidak terlalu besar tapi montok, halus dan sedikit menonjol akibat rangs*ngan meskipun tak semungil ketika pertama kali kupegang dulu. Kujulurkan ujung l*dahku keput*ngnya yang mulai agak keras dan warna coklat.
Kujil*ti seluruh permukaannya, kuh*sap dan kadang sedikit kug*git. Ia nampak menikmatinya, bahkan untuk mengimbangi kenikmatannya itu, ia bergerak menggelinjang, lalu memutar tubuhnya sehingga arah kami berlawanan. Dalam keadaan menyamping, ia mendorong **-ku hingga turun sampai ke lutut, lalu meraih isinya yang sedang meng*cung itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya dan memainkan dengan l*dahnya, bahkan memutar-mutar dalam mulutnya, sehingga aku terasa mau muncrat.
“Terus Kak, aku nikmat sekali auh..uhh..aahh..usstt..” katanya sambil berdesis dengan nafas terputus-putus ketika aku memainkan l*dahku dengan cepatnya ke dalam lub*ng v*gin*nya yang basah dan masih mulus tanpa bulu selembarpun seperti ketika pertama kali aku j*mah di rumahnya tempo hari.
Iapun seolah mengikuti gerakan mulutku dengan mempercepat goc*kan mulutnya pada rud*lku yang terasa hampir muncrat.
“Aduh, aku sudah tidak mampu lagi menahan sayang, aahh..uuhh” kataku sambil mendorong kepalanya agar ia menghentikan goc*kannya.
Bersamaan dengan itu pula, Venti tiba-tiba berdiri dan segera meng*ngk*ngi tubuhku yang terbaring terlentang di bawahnya. Nampaknya ia sudah tidak sabaran lagi. Ia dengan cepatnya membuka kedua bibir v*gin*nya sehingga kulihat sedikit menganga dan nampak berwarna merah pada kedua bibirnya, lalu menurunkan pant*tnya sehingga lub*ng kem*lu*nnya pas ketemu dengan ujung pen*sku yang memang sejak tadi berdiri.
Tanpa dipegang dan diarahkan, pen*sku itu dapat masuk dengan mudah ke lub*ngnya meskipun tidak langsung amblas seluruhnya melainkan setelah kami bantu dengan beberapa kali gerakan pinggul ke kiri dan ke kanan seperti orang ngebor.
“Hmm..aahh..” itulah suara kecil bersama nafas keluar dari mulut kami secara bergantian ketika Venti berpegangan di atas kedua p*hanya sambil mempercepat gerakan pinggulnya ke bawah dan ke atas seiring dengan gerakan pinggulku.
Bahkan saking keras dan lamanya gerakannya itu, sampai-sampai ia capek dan berhenti sejenak lalu kedua tangannya bertumpu di atas d*d*ku lalu di atas kasur kemudian dengan leluasanya menggerakkan pinggulnya yang menyebabkan terdengarnya bunyi “Ciprat..ciprot” secara berirama dari persenggolang kel*min kami.
“Aku mau keluaar sayang, berhennti duluu” kataku ketika terasa ada lahar panas mulai mengalir dari dalam b*tang kem*lu*nku. Karena permintaanku itu, Venti berhenti bergoyang sejenak, lalu terlentang di sampingku dengan membuka kedua p*hanya.
Akupun mengerti maksudnya, lalu aku yang meng*ngk*nginya dan dengan mudah menus*kkan kembali rud*lku ke lub*ngnya dan mengg*c*k-g*c*knya terus. Sambil aku goc*kkan pen*sku ke dalam v*gin*nya, Venti meraih bantal guling dan mengganjal pinggulnya lalu membuka lebar-lebar kedua p*hanya sehingga b*tangku bisa masuk lebih dalam,
Bahkan terasa kedua bi*ji pel*rku masuk ke lub*ngnya, sehingga suara dan bunyi khas itu sulit dihindari, malah kali ini semakin besar dan ribut. Tidak puas dengan gaya itu, Venti mendorong pinggulku ke atas lalu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi hingga ujungnya menyentuh bahuku.
Akupun menekannya dengan keras dan memompanya secepat mungkin, terutama setelah ada tanda-tanda Venti juga sudah hampir mencapai puncak seiring yang kurasakan. Ternyata benar, dalam posisi terakhirku itu, kami secara bersamaan memuntahkan lahar panas tanpa izin dari siapa-siapa dan tanpa aba-aba.
Hal ini amat terasa ketika aku muncrat ke dalam v*gin*nya. Ventipun memelukku erat sekali, malah sedikit mencakar punggungku dan menarik- narik rambutku yang ditandai pula dengan denyut-denyut yang menjepit ujung pen*sku. Lalu kami secara bersamaan lemas lunglai sambil berbaring dengan nafas yang terputus-putus tanpa suara, gerakan dan pandangan yang berartri lagi.
Kami bagaikan may*t tel*nj*ng yang terbaring berdampingan di atas tempat tidur. Kami baru sadar jika kami betul-betul sempat tertidur sekitar thirty menit setelah terdengar ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamar dari luar. Kami secara bersamaan bangkit dan merapikan pakaian lalu kubuka pintu, ternyata petugas Wisma mau tanya apa aku mau bermalam atau mau pulang, sebab ia mau kunci pintu pagarnya.
Hampir bersamaan kami menjawabnya dengan kata “iya” setelah melihat jarum jam dinding sudah menunjuk pukul twelve.30, lalu petugaspun berlalu dan aku kembali mengunci pintu. Setelah itu kami berbarik sejenak sambil berpelukan lalu melepaskan pakaian masing-masing secara total seperti sedia kala lalu kugendong Venti masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan, terutama tentunya bekas cairan dari mulut dan kem*lu*n kami.
Sesampai di kamar mandi, kami saling menyirami dan menggosok seluruh badan, sehingga ga*rah dan n*fsu s*x kami kembali bangkit dan ingin rasanya melanjutkan ronde kedua di dalam kamar mandi biar gaya dan kesannya agak lain lagi.
Kami memang sempat melakukan dengan bermacam-macam posisi, gaya dan metode s*x di kamar mandi itu sehingga kami sempat mencapai puncak kenikmatan three kali, bahkan kami lanjutkan di atas tempat tidur hingga menjelang pagi. Kami tidak mampu lagi menghitung berapa kali kami muncrat selama pertemuan kami dalam kamar wisma itu.
Pertemuan kami di kamar wisma itu, betul-betul suatu pertemuan yang luar biasa berkesan. Seumur hidupku mungkin sulit kami alami kembali pertemuan seperti itu. Kerinduan kami selama 10 tahun betul-betul terobati malam itu, bahkan kami mencetak sejarah hidup yang sulit terlupakan lagi.
Sayang Venti hanya sempat bermalam 1 malam di kotaku karena takut menimbulkan masalah baru pada rumah tanggaku, sementara aku masih siap menem*ninya selama beberapa malam sekiranya ia mau bertahan. Oh Venti sayang, kapankah kita bisa lagi mengulangi pertemuan seperti itu.
Mungkinkah hal ini bisa terulang sebelum ajal kita dicabut. Alangkah nikmat dan bahagianya perasaanku malam itu. Rasanya aku tak mau malam itu berlalu dengan cepat, tapi itulah hidup dan fitrah yang harus diterima oleh setiap insan.